Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Pidato Tentang Pendidikan Islam Di Tengah Pergumulan Budaya Kontemporer



Pidato adalah kegiatan seseorang dengan maksud menyampaikan berbagai hal secara lisan kepada orang lain disekitarnya. Dengan harapan orang yang mendengarkan itu mengerti dan memahami apa yang disampikan pada saat itu. Ciri khas pidato yaitu menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan apa yang di inginkan jadi tidak mungkin orang seseorang yang tidak cakap. menggunakan bahasa berharap dapat menyampiakan pendapat dan kemauan orang lain untuk cara berpidato. Pidato itu pada dasarnya ucapan yang tersusun dengan baik dn ditunjukkan kepada orang lain atau orang banyak. Pidato dapat dilaksanakan pada upacara bendera, pada pesta keluarga, peringatan hari besar nasional dan keamanan dll..Kumpulan Pidato Lengkap

 

Pidato juga dikatakan sebagai penyampaian pikiran seca

ra lisan di depan penonton atau pendengar. Tujuan pidato dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

  • Informatif

Pidato informatif bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca atau pendengar. Berupa petunjuk tentang sesuatu, pengarahan tentang masalah tertentu, dan penjelasan tentang obyek tertentu.

  • Rekreatif

Pidato rekreatif bertujuan untuk menghibur para pendengar. Saat menyampaikan pidato, orator perlu menyelipkan beberapa hiburan, sehingga pidato yang disampaikan dapat tercapai.

  • Persuasif

Tujuan pidato persuasif adalah untuk memengaruhi para pendengar. Pada saat menyampaikan informasi, orator perlu memengaruhi atau mengajak.

Sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan oleh pendengar dalam kehidupannya sehari-hari.

 

Persiapan pidato

Sebelum berpidato didepan umum ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan siapkan diantaranya adalah

  1. Mengetahui wawasan pendengar pidato secara umum
  2. Mengetahui lama waktu atau durasi pidato yang akan dibawakan.
  3. Menyusun kata-kata yang mudah dipahami dan dimengerti.
  4. Mengetahui jenis pidato melalui tema acara,
  5. Menyiapkan bahan-bahan dan perlengkapan pidato dan lain sebagainya.


Kriteria Berpidato yang Baik

  1. Isinya sesuai dengan apa yang sedang berlangsung
  2. Bermanfaat bagi pendengar
  3. Isinya jelas dan benar serta objektif
  4. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
  5. Tersampaikan secara baik dan benar


Berikut Contoh Pidatonya:

 


Contoh Pidato Tentang Pendidikan Islam Di Tengah Pergumulan Budaya Kontemporer

 

Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang terhormat :

Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia

Gubernur Jawa Tengah.

Para Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta

Para Anggota Senat Institut Agama Islam Negeri Walisongo

Para pejabat di lingkungan IAIN Walisongo

Para Guru Besar yang tidak saya sebutkankan satu persatu

Para tamu undangan dan hadirin rahimakumullah

Pada kesempatan yang sangat membahagiakan ini, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita, sehingga kita dapat bertemu dan berkumpul dalam acara akademik pengukuhan guru besar di Aula IAIN Walisongo. Solawat dan salam semoga tetap pada junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W, dan para sahabat-sahabatnya.

Melalui pidato pengukuhan guru besar ini saya akan menyampaikan kebijakan pendidikan Islam dalam menyikapi budaya kontemporer yang sering disebut sebagai budaya massa atau budaya teknologi.

Analisis permasalahannya mencoba menggunakan pendekatan fenomenologis, sosiologis dan psikologis-pedagogis. Sebab atas landasan pengamatan sesaat diperoleh suatu asumsi bahwa betapapun ketinggian kognitif intelektual seseorang di era menguatnya budaya materialistik, terkesan tidak dapat memperoleh kebahagiaan hakiki manakala tidak dilandasi menguatnya implementasi keimanan, ketakwaan dan fungsi-fungsi hati nurani. Dengan kalimat lain, format perubahan-perubahan yang terjadi di bidang kehidupan materiel seseorang, kurang banyak bermanfaat bagi umat, apabila tidak disertai dengan lekatnya keimanan, ketakwaan dan kecerahan hati nurani dalam struktur kepribadiannya.

Cepatnya arus informasi, gaya hidup, nilai-nilai budaya serta kendali atas ilmu pengetahuan dan teknologi dipahami ada di tangan orang Barat. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa produk teknologi adalah bebas nilai (value free), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kehadiran suatu produk teknologi tidak sekedar menghadirkan, misalnya chips belaka; tetapi juga paradigma, gaya hidup, norma, sistem nilai dan budaya tertentu. Apalagi jika kemudian produk teknologi itu dikemas sesuai dengan budaya, nilai, nama produsen teknologi itu sendiri.1

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah memberi perubahan pada prinsip-prinsip belajar manusia yang harus dilaksanakannya seumur hidup. Bilamana tidak demikian, manusia akan jauh tertinggal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin pesat lajunya, sehingga pada suatu saat, manusia yang tertinggal itu mungkin hanya dapat terpesona karenanya.

Kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu alam, melainkan juga pada ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan manusia, baik yang ditemukan melalui prosedur ilmiah, atau pun pengetahuan yang berdasarkan akal sehat dalam kehidupan sehari-hari.2

Memang temuan-temuan itu pada hakikatnya tidak melanggar otonomi ilmu, akan tetapi dalam segi pragmatiknya, temuan-temuan itu masih dibatasi oleh hal-hal yang humanistik, dan nilai-nilai agama serta moral. Implikasi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta derasnya arus informasi dan komunikasi, selain memberikan efektivitas dan efisiensi yang sangat berarti bagi kehidupan manusia, dapat juga menimbulkan pergeseran-pergeseran nilai kehidupan.

Teknologi komunikasi, arus migrasi, dan penyiaran referensi-referensi budaya melalui penyiaran (broadcasting) ke seluruh dunia menggambarkan adanya pergumulan budaya dan terbentuknya peta baru dari ruang-ruang budaya. Pergumulan kebudayaan ini berimplikasi pada terjadinya transformasi budaya, baik budaya spiritual maupun materiel.

Lebih lanjut dapat dicermati pada banyak orang dalam masyarakat kontemporer yang lebih banyak menghargai segi kehidupan materialistik dari pada segi spiritual, menjalarnya budaya permisif terutama di kalangan remaja. Lembaga-lembaga pendidikan yang kurang menjanjikan kebahagiaan hidup materi kurang diminati, munculnya sikap individualistis, dan terjadinya kemungkinan konflik dalam nilai-nilai sosial dan polarisasi budaya.

Situasi semacam ini menjadikan umat sering dihadapkan pada ketegangan-ketegangan dialektis, antara pengaruh-pengaruh budaya materialistis dengan keharusan agama untuk tetap mempertahankan aspek-aspek transendental; sekalipun diyakini bahwa agama tetap akan eksis dan dinamis berperan dalam berbagai bidang kehidupan3. Dialektika ini dirasakan juga oleh dunia pendidikan yang tugas dan fungsinya adalah transfer budaya dan nilai-nilai kepada generasi penerus (peserta didik) agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Transfer budaya dalam arti mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan dan ketrampilan4.

Ada satu aspek penting dalam proses pendidikan ini, yaitu adanya rasa tanggung jawab pendidik. Ia harus sadar dan mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya secara materiel, dan diakui haknya oleh peserta didik serta mendapat kepercayaan untuk mencapai hasil yang baik5. Untuk maksud ini tentunya ia harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi6. Postulat ini mengarah kepada sebuah asumsi bahwa proses pendidikan dan pengajaran itu harus berimbang, artinya proses pendidikan itu tidak bisa hanya menekankan pada aspek kognitif intelektual belaka yang hakikatnya akan menekankan pada olah pikir dan kecerdasan peserta didik secara individual, tetapi harus memberi perhatian pula pada sistem nilai.

Aspek sistem nilai harus memperoleh porsi cukup dalam pembelajaran, agar proses belajar mengajar dapat mengembangkan dan menginternalisasikan nilai positif yang menyangkut akidah, akhlak atau etika pada peserta didik. Upaya ini harus dilakukan, karena jika peserta didik hanya mempunyai kognitif intelektual dan kecerdasan, tetapi tidak memahami secara mendalam bahwa pendidikan adalah proses long life education, lagi pula tidak memiliki sistem nilai positif, tidak akan banyak bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kognitif intelektual dan cerdas, dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta saling menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan sebagai dasar untuk memecah belah kehidupan. Menurut Samuel B. Huntington bahwa umat manusia dewasa ini menghadapi pertentangan budaya, hanya dapat dicegah apabila umat manusia menyadari akan kebinekaannya yang pada akhirnya sebenarnya merupakan kekayaan dari kehidupan manusia itu sendiri7.

Visi pendidikan Islam yang mendasarkan interpretasi logis rasional dari Al-Quran, Surat Al-Baqarah : 30 yang artinya : Sesungguhnya Aku akan menjadikan seseorang Khalifah di muka bumi, adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah dan Kholifah fi al-ardh. Maka misi pendidikan Islam seharusnya dapat memberdayakan daya tubuh, daya hidup, daya akal dan daya kalbu8, guna menyelaraskan hubungan erat antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi. Pemberdayaan daya-daya ini dikandung maksud supaya peserta didik memiliki kemampuan memelihara tradisi dan budaya sendiri, tetapi juga mempunyai kekuatan selektif terhadap masuknya budaya luar yang beragam.

Bisa jadi mereka mengadopsi budaya luar, tetapi selaras dengan hudallah, dan tidak enggan berpedoman pada doktrin kultural yang menyebutkan, al-muhafzah ala al- qadim al-salih wa al-akhzu bi-al jadid al-aslah.

Budaya Massa dan Budaya Teknologi

Budaya atau kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan dijadikan pedoman tingkah lakunya. Sering budaya ini disebut sebagai hasil akal budi dari alam sekelilingnya, dan dipergunakan bagi kesejahteraan hidupnya. Itulah maka kebudayaan merupakan suatu ekspresi karya sosial mengenai makna yang pada ujung bersifat lokal. Dalam sejarah umat manusia terdapat gabungan antara sejarah perbenturan dan pertukaran antara budaya dan peradaban9. Maka untuk memahami suatu budaya manapun tidak cukup hanya mempertimbangkan keadaannya sendiri tanpa pengaruh dari budaya lain.10

Budaya massa dalam analisis persoalan ini adalah budaya yang jumlahnya banyak sekali. Dari dimensi sosial budaya, massa memuat dua sifat pokok yaitu luas dan menyatu, sehingga makna massa dapat dinyatakan sebagai sifat suatu yang menyatu, luas, homogen dan memiliki kekuatan11. Globalisasi dewasa ini merupakan suatu tatanan kehidupan manusia yang secara global telah melibatkan seluruh umat manusia dan secara khusus telah memasuki tiga arena, yaitu arena ekonomi, politik dan budaya. Didukung oleh dua kekuatan besar yaitu bisnis dan teknologi, ketiga arena kehidupan manusia itu telah menempatkan manusia dengan lembaga-lembaganya menjadi sebuah tantangan, kesempatan dan peluang. Dari aspek ekonomi dapat dilihat dalam aliran dan pertukaran barang, jasa dan modal. Bilamana manusia tidak siap merespons dan berkiprah di arena ini, maka ia akan tertinggal dan termarginalkan. Dalam arena politik menunjukkan bahwa hanya prinsip-prinsip demokrasi yang dapat membawa manusia kepada taraf kehidupan yang lebih baik dan yang dapat mengangkat manusia dari kancah kemiskinan. Melalui arena politik telah melahirkan suatu haiah atau gerakan demokrasi atau demokratisasi yang menyebabkan orang mengenal lebih dalam tentang hak-hak dan kewajibannya. Di dalam arena budaya bermunculan aneka ragam budaya, dan mungkin akan membahayakan identitas budaya nasional. Identitas budaya nasional adalah merupakan aset bangsa yang dapat memberikan kontribusi bagi tumbuh kembangnya aneka budaya.

Budaya massa diilhami dari hubungan yang semakin transparan antar bangsa, sehingga tidak ada lagi sekat budaya yang menyebabkan terjadinya fusi atau amalgamasi budaya. Fusi budaya atau amalgamasi budaya terjadi proses perpaduan antara dua atau lebih nilai masyarakat yang berbeda. Hasil dari perpaduan nilai inilah lahir nilai masyarakat baru dan menjadi budaya massa. Kelahiran budaya massa terdapat nilai-nilai yang memiliki pengaruh lebih kuat atau lebih lemah antara satu nilai dengan nilai yang lain.

Partikel dalam budaya masyarakat pada dasarnya adalah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu12. Maka dalam proses perpaduan budaya ini berlangsung adanya pelepasan nilai tertentu, mempertahankan nilai tertentu, pengadopsian nilai tertentu dan akhirnya terbentuk profil nilai baru. Sebagai akibat terjadinya fusi budaya antar bangsa maka nilai-nilai masyarakat yang berbeda semakin teresolasi, sehingga terjadi proses adopsi nilai, yang semakin lama tidak lagi dirasakan sebagai nilai asing, melainkan semakin luas semakin menjadi nilai milik sendiri dan menyatu dalam tatanan kehidupan diri dari setiap anggota masyarakat. Suatu nilai yang diterima dan dimiliki oleh masyarakat yang berskala luas (global), akan lebih kuat mewarnai budaya masyarakat dunia, itulah budaya teknologi13.

Kesatuan nilai-nilai ini tidak hanya terjadi dalam suatu wilayah, justru nilai-nilai ini lebih dikatakan menyatu dalam tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Nilai budaya ini kemudian meluas menjadi massa kehidupan.

Budaya teknologi, substansial teknologi informasi dan telekomunikasi telah menjadi budaya massa, dan tidak selalu diungkap bahwa dewasa ini manusia berada di era informasi dan komunikasi, yang ditandai oleh banyaknya saluran informasi seperti radio, televisi, film, surat kabar, telepon, teleks, faksimile maupun internet. Keberadaan teknologi informasi telah menghilangkan garis-garis batas antar negara, sehingga informasi budaya massa mudah diketahui oleh masyarakat berbagai bangsa.

Budaya teknologi yang sebenarnya dibangun oleh Barat ini menciptakan fenomena baru dalam masyarakat, antara lain :

Kota-kota dan wilayah perkotaan mendapat peran baru sebagai tempat berpijak bisnis nasional dan internasional, baik dalam bidang jasa, keuangan, komunikasi maupun transportasi.

Masyarakat yang semula bersifat subsistem atau agraris berubah menjadi masyarakat yang berorientasi pasar. Hal ini dapat menimbulkan budaya konsumen.

Adanya pendangkalan nilai agama dan moral, yang oleh Mastuhu dikatakan bahwa sistem bisnis global ini menyebabkan pergeseran nilai-nilai lama dan diganti dengan nilai-nilai baru yang materialistis.

Nilai-nilai baru yang materialistis akan memunculkan doktrin sekularisasi yang melepaskan hidup duniawi dari ikatan-ikatan norma agama. Perubahan itu terjadi dalam bentuk transformasi atau peralihan, bukan dalam bentuk kemunduran agama. Ajaran agama yang berdasarkan wahyu dan bersifat absolut tidak akan berubah. Perubahannya terjadi dalam pola pemahaman dan penerapan ajarannya, sesuai perkembangan budaya massa.14

Dalam melakukan prinsip-prinsip demokrasi dibuatlah undang-undang untuk memberikan keleluasaan kepada daerah, meningkatkan peran masyarakat, munculnya tuntutan untuk pemerataan dan keadilan, serta mempertahankan potensi dan keanekaragaman daerah.

Masing-masing daerah mementingkan kepentingannya sendiri. Hal ini dilakukan karena tuntutan keperluan internal dan karena tekanan arus global.

Terbukanya ruang politik bagi masyarakat untuk turut mengambil keputusan politik menyebabkan euforia dalam berpolitik. Hal ini ditunjukkan oleh sikap merasa paling berkuasa dan paling menentukan sehingga memunculkan perilaku irrasional.

Lemahnya mekanisme kontrol masyarakat, karena dalam sistem demokrasi perwakilan rakyat sudah menyerahkan sebagian kedaulatannya dalam jangka waktu tertentu kepada orang yang dipercaya duduk dalam lembaga legislatif. Orang yang dimaksud terkadang bertindak diluar kepentingan dan kehendak rakyat.

Penyiaran referensi-referensi budaya melalui broadcasting ke seluruh dunia cenderung mempengaruhi masyarakat untuk lebih menghargai materialistis, mengukur kehidupan hanya berdasarkan nilai uang atau materi, bukan dilihat dari kebaikan, kejujuran dan nilai-nilai rohaniyahnya. Ujung-ujungnya, moralitas dan nilai-nilai luhur cenderung menipis.

Menjalarnya budaya teknologi, menimbulkan budaya permisif yang menjadikan orang cenderung melakukan hal-hal baru yang dianggap modern dan meninggalkan norma-norma, tradisi dan budaya bangsa.

Norma-norma sosial yang relatif telah mapan terkontaminasi oleh budaya teknologi yang cenderung mekanis dan efisien, telah mengganti tenaga manusia dengan peralatan mekanis.

Munculnya sikap individualisme dan krisis sosial yang terindikasikan antara lain perilaku sosial yang tidak mempunyai implikasi materi dipandang sebagai tindakan yang tidak rasional. Sikap semacam ini menyebabkan hilangnya manusia sebagai makhluk spiritual dan menjadi makhluk materiel yang menempatkan posisi nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupannya.

Konsep sekularisasi telah memberikan perubahan yang signifikan pada kehidupan beragama dalam masyarakat, yakni menggeser tekanan kehidupan beragama dengan menempatkan agama hanya sebagai urusan pribadi15. Fenomena ini teridentifikasi banyaknya konflik internal dalam tubuh umat beragama yang dipicu oleh keinginan untuk memperoleh status sosial dan materiel. Dalam konteks ini agama tidak lagi mempunyai kekuatan pemersatu pada situasi dan kondisi masyarakat kosmopolit.

Munculnya fundamentalisme yang anonim atau tanpa nama dan tumbuh diatas tradisi. Komunitas fundamentalis ini berkeinginan agar kembali ke teks dasar (agama) yang harus diartikan secara harfiah dan menuntut agar doktrin yang diperoleh dari teks dasar itu diterapkan pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini dapat berujung pada kekerasan16, yang tentunya kontra produktif terhadap nilai-nilai positif dalam agama.

Budaya teknologi yang dilansir oleh kemajuan di bidang informasi dan komunikasi memang terkesan dibangunan Barat, sering dikecam karena efek samping yang negatif, tetapi dipakainya juga karena dapat memberikan kemudahan dan kecepatan komunikasi antar individu dan lembaga dalam memecahkan problema-problema kehidupan, serta dapat mempercepat transmisi pesan-pesan nilai luhur kepada komunikan. Ini berarti komunikasi dapat meningkatkan integrasi fungsional dan komunikasi normatif. Dari sini tradisi keilmuan menggugah kesadaran ilmuan dan masyarakat umum bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan keharusan bagi masyarakat, karena maju dan mundurnya masyarakat kini dan mendatang ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan sains. Kesadaran semacam ini semestinya berpotensi untuk mempengaruhi pengembangan dan upaya revitalisasi tradisi keilmuan Islam.

Revitalisasi keilmuan Islam tidak saja didasarkan pada faktor kewajiban dan penghargaan tingginya nilai ilmu pengetahuan, melainkan juga karena bangkitnya kesadaran untuk merespons kegunaan budaya teknologi yang sekularistik dan tidak memberikan arti spiritual. Vitalisasi tradisi keilmuan Islam akan memperkuat pandangan bahwa kepuasan hidup materiel yang disertai penghargaan terhadap dimensi spiritual akan membawa kebahagiaan yang hakiki. Maka menguatnya tradisi agama Islam di masyarakat yang dapat dilihat dalam bentuk ritus-ritus, simbol-simbol dan upaya-upaya memperkukuh institusi pendidikan adalah merupakan bagian penting yang akan membawa umat mencapai kebahagiaan hakiki itu.

Pendidikan Islam sekarang adalah untuk kehidupan umat ke depan yang diprediksi bahwa tatanan hidup manusia ke depan mengalami dinamika yang sangat cepat, di antaranya disebabkan adanya perubahan cara menghadapi kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Di situlah kehidupan menyatu dengan problema, dan setiap problema yang muncul harus memperoleh jawabannya17, sedang problema yang muncul itu tentu diantaranya sebagai dampak dari adanya budaya massa, seperti tuntutan hidup yang makin materialistik, hedonistik, teknologik, deregulatif dan transparansi18.

Proses pendidikan Islam yang mentransfer ilmu pengetahuan, mendapatkan format nilai dan budaya pada posisi yang menentukan masa depan peserta didik. Oleh karena itu masa depan dapat dikatakan sebagai alternatif dari proses perjalanan hidup manusia.19

Pendidikan Islam ke depan masih harus melandasi dinamikanya pada teks-teks transendental, sekalipun masa turunnya sudah lampau, dan mau mengkaji kemajuan-kemajuan pendidikan umat Islam masa silam serta mau bersandar setidaknya pada kaidah baru yang berbunyi al-akhzu bi al-jadid al-aslah wa al-muhafazah ala al-qodim al-salih. (Mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik)20

Al-Muhafazah dalam masalah ini termasuk memelihara budaya, tradisi dan adat istiadat yang masih relevan dengan nilai-nilai positif dalam Islam.

Konstelasi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam hal ini adalah pendidikan dalam perspektif al tarbiyyah al-Islamiyah yang dalam proses pendidikannya melaksanakan fungsi-fungsi pendidikan yang terdiri dari empat aspek yaitu : 1) Menjaga dan memelihara potensi peserta didik menjelang dewasa. 2) Mengembangkan seluruh potensi peserta didik. 3) Mengarahkan seluruh potensi peserta didik menuju kesempurnaan. 4) Dilaksanakan secara bertahap.21

Implementasi at-tarbiyyah al-Islamiyyah ini didasarkan pada firman Allh S.W.T dalam Al-Quran :

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil22. S. Al-Isra : 24.

Bertitik tolak dari firman Allah ini, manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fi ahsani taqwim), ia adalah makhluk pedagogis yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan mendidik, sehingga mampu menjadi khalifatullah fi al-ardh, penerima dan pelaksana ajaran Allah, pendukung dan pengembang kebudayaan. Fikiran dan perasaan serta kemampuannya berbuat merupakan komponen dari potensi ini.

Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap menurut ajaran Islam. Potensi-potensi yang dikembangkan itu meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangan ada yang bersifat individual, yaitu yang berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunia dan akhirat. Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi dan suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat23.

Rasulullah S.A.W, ketika mengajar dan mendidik umat ketika itu, tidak terbatas pada sekedar agar mereka dapat membaca, melainkan membaca yang bernuansa tanggung jawab dan amanah. Ketika beliau mengajarkan membaca dibawanya mereka pada tazkiyatu al-nafs (kesucian diri) dan membuat diri mereka sadar bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Allah.

Kondisi lingkungan hidup sosial budaya pada zaman Rasulullah S.A.W memang bersifat religius yang mantap, sehingga tidak memungkinkan timbulnya paham materialisme24. Maka dari itu Al-Quran dan solat beserta segenap ilmu yang berkaitan dengan pemahamannya dikenal oleh setiap orang Islam, mulai dari usaha memotivasi sampai pada kegiatan mempelajari ilmu25. Sebagaimana pendidikan Islam di Al-Kuttab pada abad 1-3 Hijriyyah, ilmu pengetahuan agamalah yang menjadi pusat perhatian kaum muslimin. Semua aktivitasnya terkesan telah dipergunakan untuk pengetahuan agama Islam.

Sejak abad itu secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan sisi yang lain sehingga memunculkan Islam abstrak dan transendental. Pendidik pada masa itu bukan merupakan profesi untuk menghasilkan uang atau pekerjaan, melainkan semata-mata karena panggilan agama, yakni sebagai upaya mendekatkan diri pada Allah, mengharapkan keridhaanNya, dan mengembangkan seruanNya26.

Proses pendidikan Islam harus mencakup aspek talim dan tadib, yaitu yang menyangkut transfer ilmu dan ketrampilan untuk memenuhi hajat hidup, dan yang menyangkut aspek beradab atau berbudi pekerti baik. Prinsip ini harus berlaku disegala zaman dan tempat, di segala situasi dan kondisi lingkungan sosial dan di waktu segala kebutuhan manusia baik yang primer maupun sekunder meningkat, maupun pada zaman dimana hegemoni materialisme tampak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begini cepat, pendidikan Islam akan tetap bertahan dalam relevansinya dengan ajaran Islam. Seperti adanya matematika, ilmu falak, teknik atau pun logika, sebenarnya penemuan dan pengembangannya telah didasari oleh firman Allah dalam Al-Quran :

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya), kepada orang-orang yang mengetahui,27 S. Yunus : 5.

Bagi komunitas muslim pendidikan Islam bukan sekedar mendidik aspek religius yang menyangkut hubungan dengan Allah saja, tetapi karena Islam adalah agama peradaban, mempunyai sistem akidah, ibadah dam sistem hidup yang menyeluruh untuk manusia, maka pendidikan Islam berorientasi pada kemajuan dan berkembangnya ilmu pengetahuan28. Agama dan ilmu keduanya berupa prinsip dan amal sistem dan kehidupan Orang-orang Islam dahulu, mereka yakin betapa perlunya ilmu untuk masyarakat, peradaban dan tamaddun, dan sumbangan mereka amat besar dalam berbagai bidang ilmu dan metode kajian ilmiah. Namun mereka tidak sekali-sekali lupa akan ajaran agama, nilai, akhlak dan tazkiyatu al-nafs29. Jika diteliti dengan cermat sejarah hidup tiap ulama dan kebijakan para ahli pikir Islam ternyata akhlak mereka tinggi dan mulia, mereka amat tawadhu, mempunyai kekuatan penglihatan dan kesucian hati nurani, tidak segan-segan menyebutkan sumbangan orang terdahulu walaupun kadang-kadang bukan orang Islam, dan jika ada perbedaan pendapat maka penguatannya dibuat secara toleransi, lembut, demi mencari kebenaran semata-semata30.

Agaknya akhlaqu al-ulama dan ahli pikir Islam itu bercermin pada firman Allah, dalam Al-Quran :

Dan Allah mengeluarkan kami dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur31. S. Al-Nahl : 78.

Al-Afidah yang diterjemahkan hati dalam ayat ini sebenarnya adalah hati nurani manusia, yaitu sesuatu yang ada dalam tubuh manusia yang paling dalam. Secara psikologis sebagai tempat perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian dan perasaan-perasaan. Kinerja hati nurani inilah yang memberikan kecerahan dan cahaya hidup manusia, dan hati nuranilah yang dapat memahami arti nilai-nilai luhur bagi kehidupan manusia.

Hati Nurani ini memiliki ciri-ciri :

Sebagai pusat iradah (kehendak), rencana dan niat manusia.

Alat untuk menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Bila hati nuraninya dekat dengan Tuhan, niscaya hubungan manusia dengan Tuhannya pun dekat, sebaliknya bila jauh niscaya Tuhan pun jauh.

Tempat mempertanggung jawabkan semua aktivitas manusia.

Berkecenderungan pada kebenaran, dan dapat mengetahui serta membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, hanya karena faktor eksogen manusia mengingkari kebenaran hati nurani.

Sifatnya berubah-ubah sehingga perlu adanya berbagai suply dari berbagai petunjuk, termasuk petunjuk Allah, dan perenungan dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.

Bila diri telah dikuasai oleh hawa nafsu, peranannya tidak efektif lagi, sehingga sulit menerima kebenaran.

Termasuk rahasia manusia yang hanya diketahui oleh Allah, atau orang-orang yang dikehendakiNya.

Sebagai muara kegembiraan dan keresahan.32

Tampaknya para alim dan ahli pikir Islam terdahulu tersebut meyakini bahwa dengan memberdayakan pendengaran, penglihatan serta menjernihkan al-afidah (hati nurani) dapat menjadi jalan memperoleh ilmu dan kekayaan intelektual untuk mencapai kebenaran dan memperoleh pencerahan. Maka tawadhu baginya adalah sebuah sikap pilihan yang mulia, sikap yang menimbulkan rasa senang dan tentram dalam jiwa. Lagi pula dapat menyuburkan amal baik dan memudahkan jalan untuk memperoleh kemajuan.

Pendidikan Islam sebenarnya mempunyai misi untuk mendidik peserta didik memiliki ilmu, dengan ilmunya mampu menempatkan fungsi a-afidah secara sempurna, tidak melakukan penyimpangan syari dan berlaku baik menurut norma-norma Islam. Mayhew (1958) menjelaskan pada sebuah studinya tentang adanya hubungan yang relatif kecil antara perubahan perilaku seseorang dan perkembangan pengetahuan yang didapat oleh yang bersangkutan melalui pendidikan formal (pendidikan tinggi). Ini tidak berarti orang-orang dengan bakat dan kecerdasan tinggi tidak diakui di sini, yang dimaksud disini adalah hubungan tersebut memang ada namun pada level yang relatif rendah yang dapat menjelaskan hubungan tersebut secara efektif33.

Adanya hubungan yang relatif kecil antara perubahan perilaku pemilik ilmu dengan perilakunya, sebagaimana yang ditemukan Mayhew, bisa saja terjadi, mungkin disebabkan karena berubahnya secara total sifat kebudayaan materiel manusia. Dampak kebudayaan baru itu terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat, serbuan teknologi informasi yang sangat dahsyat yang mendorong penetrasi dan ekspansi nilai-nilai. Munculnya satu gaya hidup baru, satu tipe budaya baru, dan satu klas pemimpin-pemimpin baru yang mempunyai ideologi baru. Semua itu dapat merambah secara total pola hidup dan pola kemasyarakatan manusia34.

Eksesnya, dapat menimbulkan disintegrasi kepribadian (personality), muncul penyakit mental pada individu dan disintegrasi orde sosial. Karena sektor-sektor kebudayaan yang tidak sama kecepatan pertumbuhannya, terjadi kemudian disparitas atau perbedaan di antara kebudayaan materiel dengan perkembangan budaya spiritual institusi-institusi sosial. Artinya perkembangan lembaga-lembaga sosial dan spiritual menjadi tidak seimbang, dan jauh tertinggal dibelakang kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologi35. Selanjutnya muncul cultural lag yaitu kegagalan institusi spiritual membarengi pertumbuhan kebudayaan ilmu dan kebudayaan materiel yang berkembang sangat pesat, dan proses sekularisasi pada kebudayaan materiel tampak lebih tajam. Lembaga ekonomi misalnya, dapat diubah lebih cepat dari pada lembaga religius. Sebab lembaga ekonomi kurang terus dinilai dengan kriteria emosi atau sentimen, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kebudayaan dan religius36.

Proses sekularisasi pada kebudayaan materiel, gaya hidup dan nilai-nilai yang dibawa oleh medium-medium produk kemajuan teknologi komunikasi akan memunculkan mass-culture dengan segala konsekuensi lanjutannya37.

Pendidikan Islam kiranya mempunyai kekuatan menjadi counter budaya dan sebagai respons terhadap mass culture dengan kembali memperkokoh tradisi Islam di kalangan peserta didik muda dan anak-anak usia dini. Seraya mengaktifkan pendidikan al-afidah dengan memerankan secara aktif kedua orang tua, dan mendorong kepedulian masyarakat terhadap proses pendidikan hati nurani ini.

Pendidikan al-afidah lebih diperdalam untuk membangun kesadaran bahwa dirinya punya kekuatan internal, kemampuan introspeksi dan toleransi. Dengan al-afidah yang terdidik mau melihat dirinya, mau mendengarkan kesulitan-kesulitan orang lain, mau mendengar jeritan orang yang sedang duka nestapa, tetapi juga tidak larut dalam kehidupan yang sangat hedonistik dan sekularistik.

Jalur pendidikan Islam yang berfungsi mendidiknya dapat melalui jalur pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya38. Semua permasalahan pedagogis Islam ini harus diserahkan pada ahlinya yang tepat, terutama bidang pelaksana, jangan sampai lemah kelola dan lemah kompetensi. Karena keberhasilan dalam mendidik al-af’idah yang dimulai pada usia dini dan tingkat dasar merupakan langkah mendidik yang paling fundamental dalam membentuk pribadi muslim dan karakter bangsa.

Kedudukan pendidikan agama dalam UU SISDIKNAS sekarang ini bahkan (Islam) memperoleh tempat cukup istimewa karena merupakan satu-satunya bahan ajar yang wajib diajarkan secara kumulatif di seluruh jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 37 dan 38), yakni mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga perguruan tinggi. Pendidikan secara umum memang merupakan wilayah kewenangan DEPDIKNAS, namun apabila DEPARTEMEN AGAMA ikut serta mengelola secara aktif, terutama atas penyelenggaraan pendidikan Islam formal, maka peranan DEPARTEMEN AGAMA tersebut bisa bersifat membantu, sebagai pelaksana tanggung jawab, atau sebagai departemen yang mendapat pelimpahan kewenangan mengelola pendidikan Islam39.

Beberapa waktu lalu, muncul isu manajemen pendidikan satu atap, maksudnya kewenangan pendidikan agama supaya satu atap dilakukan secara profesional oleh DEPDIKNAS, sehingga DEPAG akan lebih berkonsentrasi kepada soal agama. DEPAG tampaknya ada rasa enggan menyerahkan pengelolaan pendidikan Islam pada DEPDIKNAS, tetapi mengaku tidak keberatan dengan harapan yang sangat besar, agar identitas keislaman lembaga yang selama ini dikelolanya bisa dijaga40. Namun perlu dicermati, bahwa penempatan satu atap di DEPDIKNAS mungkin tidak mengandung komplikasi kelembagaan dan struktur organisasinya, tetapi yang paling dikhawatirkan adalah nasib masa depan pendidikan Islam, bila banyak ditangani oleh pelaksana yang tidak expert dalam pendidikan Islam, dan banyak dicampuri dengan kepentingan-kepentingan materialistik.

Oleh sebab itu, ikatan birokrasi yang kuat sepatutnya tidak disebut sebagai salah satu penghambat prakarsa dan gerak pendidikan Islam. Penyelenggara pendidikan Islam tidak harus kehilangan vitalitasnya untuk melibatkan potensi masyarakat menyediakan sumber-sumber pendidikan Islam yang dapat disediakan, dialokasikan dan didistribusikan pada pusat-pusat pendidikan. Pusat-pusat pendidikan Islam itu dapat berlangsung di keluarga, disekolah, di tempat peribadatan, di majelis talim, di tempat-tempat rekreasi dan hiburan, di perkumpulan sosial dan teman sebaya melalui media tulis dan elektronik dan media lainnya41. Setiap peserta didik, anak-anak, remaja maupun orang tua dapat menggunakan pusat-pusat tersebut di dalam proses pendidikan mereka.

Profil Kebijakan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam konteks sejarah memang tidak pernah meninggalkan aspek talim dan tadib. Pendidikan Islam ke depan lebih berfungsi dalam mendidik, mengajar dan melatih. Dalam merespons budaya massa, fungsi melatih dalam pendidikan diharapkan lebih dominan.

Pelatihan dalam formulasi pendidikan Islam lebih menonjol pada fungsi pendengaran, seperti melatih mendengarkan ayat-ayat Allah ketika dibacakan, mendengarkan kisah perjuangan seseorang yang menegakkan kebenaran, mendengarkan kritik yang membangun dan sebagainya. Dalam formulasi latihan penglihatan, peserta didik dilatih untuk melihat masa depan dirinya, melihat buah dari kejujuran, melihat konsekuensi penyimpangan dari peraturan, melihat hikmah kesalehan, dan sebagainya. Formulasi pelatihan dalam al-afidah (hati nurani) peserta didik dilatih untuk merasakan nikmatnya iman, melatih supaya bisa memahami dan merasakan penderitaan atau kesulitan orang, melatih peserta didik untuk muhasabah dan mengenali diri, melatih peserta didik bisa memahami makna nilai-nilai luhur bagi kehidupan, melatih kesadaran untuk menguri budaya sendiri yang mengandung nilai keIlahian dengan asas kemanfaatan budaya yang membawa kesejahteraan bagi umat42, dan dalam merespons budaya lain yang selalu mengalami perubahan43, baik yang didasarkan pada agama maupun ilmu pengetahuan.

Ini semua menjadi problema bagi pendidikan Islam, yang sementara ini relatif terkesan fungsi pendidikannya terfokus untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau kognitif intelektual. Kesemuanya ini pada dasarnya adalah problema klinik pendidikan44, yang seharusnya memperoleh perawatan.

Salah satu problema pendidikan Islam yang perlu penguatan dan perawatan adalah bagaimana menyiapkan peserta didik agar tidak tersesat dalam budaya massa. Tanpa bersikap reaktif ataupun defensif peserta didik laik disiapkan menjadi insan yang berilmu prakmatis dan religius. Maka dalam dimensi substansi dan proses pendidikan, perlu reformulasi pendidikan Islam, tetapi harus mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang benar dan nilai-nilai dasar lain yang diyakini untuk terus dipelihara, dirawat dan dikembangkan.

Ilmu pengetahuan alam yang berkembang secara spektakuler, dengan banyaknya penemuan-penemuan baru seperti penetapan jenis kelamin, kloning, sampai pada rekayasa genetika dalam pengembangan ilmu biologi, kiranya perlu didekati melalui context of discovery dengan nilai-nilai moral dan religius. Karena budaya massa itu tidak akan menghanyutkan nilai-nilai tradisi dan budaya, jika pemilik tradisi itu mau meneguhkan kembali asal usul etnis dan landasan-landasan religius; artinya nilai-nilai substansi dan tradisi religius yang diperkukuh tidak akan mengalami pergeseran sebagai akibat dari pergumulannya budaya massa.

Tampaknya institusi pendidikan Islam yang tidak mendikotomikan ilmu-ilmu dalam Islam, termasuk institusi perguruan tinggi Islam, tidak ingin kehilangan salah satu fungsinya sebagai pelestari budaya dan pengembang peradaban. Maka tanpa menampakkan sikap reaktif maupun defensif dalam merespons perubahan, kiranya perguruan tinggi agama Islam legawa meneguhkan kembali budaya memcoba dan memahami kutubu al-salaf dengan pendekatan sinkronik-analitik sebagai salah satu diversifikasi akademiknya, guna meningkatkan intensitas keimanan dan mental intelek. Agaknya hal ini laik direspons sebagai wujud ikut meneguhkan secara pasti sistem tradisi Islam dan nilai-nilai subtansi Islam, dan sebagai wujud kepeduliannya terhadap dampak budaya massa.

Konteks pembudayaan ini dengan cara menghadirkan orang alim yang faqih tentang kutubu al-salaf untuk menjadi fasilitator. Sebagai fasilitator diharapkan pada dirinya memiliki al-afidah, dengan kekuatan al-faidah ia mampu mengawasi dirinya, menjadi pusat bimbingan pada dirinya dalan melaksanakan niatnya, dan ketika ia menerangi orang lain dalam hubungannya dengan Tuhan45. Melalui asas kompentensi ulama, sosok alim semacam inilah kiranya layak memperoleh tunjangan hidup.

Seringkali biaya untuk lancarnya aktivitas pedagogis ini menjumpai kendala-kendala, terutama untuk memenuhi kelengkapan sumber belajar dan tunjangan hidup fasilitator. Kondisi semacam ini terjadi karena terbatasnya kemampuan keuangan institusi.

Khalifah Al-Mamun, Nizamul Muluh, Nurudin Zanky dan Sholahudin Al-Ayuby, adalah nama-nama yang cemerlang dalam sejarah gerakan-gerakan ilmiah yang diselenggarakan oleh kaum muslimin di zaman pertengahan. Nama-nama tersebut telah terjalin erat dengan kebangkian ilmiah. Perhatian mereka terhadap para ulama dan toleransinya dengan mereka amat tinggi46. Guna membiayai aktivitas ilmiah dan pemeliharaan ilmu pengetahuan, semata-mata tergantung pada khalifah, termasuk untuk membantu tunjangan hidup para ulama dan jaminan keperluan hidupnya setiap bulan. Kemudian terdapat waqaf dari kalangan kaum muslimin untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan kebudayaan. Dari hasil wakaf ini khalifah memberikan tunjangan hidup yang tetap bagi sejumlah ulama47.

Ada dua macam wakaf yaitu : 1. Waqaf zurri yang disebut juga waqaf ahli, ialah wakaf yang dikhususkan oleh yang mewakafkannya untuk kerabatnya. Wakaf semacam ini bertujuan untuk membela nasib keluarga mereka. 2. Waqaf khairi ialah wakaf yang diperuntukkan kepada amal kebaikan secara umum. Wakaf bentuk inilah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab pada tanah yang diperolehnya dari Khaibar. Harta yang telah diwakafkan seseorang berarti telah lepas dari hak miliknya dan menjadi kepunyaan Allah48.

Wakaf sama dengan shadaqah jariyah, karena merupakan salah satu realisasi dari perintah Allah dalam Al-Quran agar seseoang menafkahkan sebagian hartanya ke jalan Allah, sebab harta dalam perspektif Islam mempunyai fungsi sosial dan bukan merupakan milik mutlak bagi seseorang. Harta benda yang ada pada tangan seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan Allah yang harus digunakan sesuai dengan ajaranNya49. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran : 92.

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.50

Wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur seorang hamba atas nikmat yang dianugerahkan Allah, juga berfungsi sosial. Dengan wakaf produktif, di samping dana-dana sosial lainnya, kesenjangan diantara yang berada dengan yang tidak berada dapat ditekan, dan dengan wakaf produktif juga, penyediaan sarana dan prasarana ibadat lebih dapat memungkinkan dipenuhi, dan sumber-sumber belajar serta sarana dan prasarana pendidikan Islam dapat ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Menurut Muhammad Lubaib Al-Najjy, bahwa manusia itu bukanlah sekedar sebagai hewan yang bermasyarakat, tetapi ia adalah makhluk yang mampu menampakkan ekesistensinya, mampu menatap masa depannya, mempunyai kekuatan berinovasi dan membuat gagasan-gagasan serta mampu melakukan inovasinya51. Secara eksplisit teori Lubaib itu diakui oleh Gustaw Le Bon, bahwa kaidah ilmiah modern terutama sekali berhutang budi kepada orang-orang Islam; tidak lama sesudah orang Arab (orang-orang Islam), menjadi murid-murid yang bergantung pada buku-buku Yunani, mereka mendapati bahwa eksperimen dan percobaan lebih baik dari buku-buku. Maka teori yang dipakai berdasarkan pada eksperimen dan percobaan52.

Betapa banyaknya para pakar pendidikan Islam, seperti : Al-Ghazali, Al-Farabi, Abdul Aziz Al-Quussy, Ali Al-Jumbulati, Hasan Langgulung, Muhammad Qutb dan sebagainya bahkan sampai menawarkan teori-teori sekular, seperti Nativisme yang digagas oleh Arthur Schopenhouer, Empirisme yang dimotori oleh John Locke, Konvergensi dengan tokohnya William Stern, terakhir yang sangat populer teorinya di dunia pendidikan, ia adalah Benjamin S. Bloom dengan The Classification of Educational Goals dan tiga ranah : Cognitive, Affective and Psychomotor. Hasil yang dicapai sepenuhnya masih ditunggu oleh umat, sebab implementasinya masih banyak yang berkutat pada kurangnya dana.

Pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka maupun melalui jarak jauh, ataupun yang diselenggarakan dalam rangka mendukung thalabu al-ilmi min al-mahdi ila al-lahdi, serta pendidikan Islam yang ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik, memang secara faktual masih sangat membutuhkan dukungan dana dari masyarakat. Dukungan dana dari masyarakat yang relatif besar untuk mengembangkannya adalah potensi wakaf khairi dari para aghniya muslim, sebagai wujud realisasi shadaqah jariyah berupa harta benda yang produktif seperti : sawah, kebun, toko, pabrik dan sebagainya, dan dikelolanya secara profesional atas ridha Allah S.W.T.

Apabila harapan ini terwujud, sungguh akan menjadi tambahan kekuatan pada logistik pendidikan Islam, guna mendidik kader-kader ilmuwan muda supaya tekun di bidangnya untuk mengembangkan penelitian, dimana temuan dan hasilnya dapat di expose menjadi counter budaya terhadap budaya massa yang sekularistik.

Dalam konteks sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa ketika Bani Ayyub berkuasa di Mesir, mereka mengembangkan ilmu pengetahuan, mereka mendirikan madrasah-madrasah, dan menyediakan wakaf yang berlimpah ruah, dimana para wazir dan para aghniya mengambil bagian yang sangat penting itu. Wakaf wakaf tersebut menjadi sumber dana untuk membiayai pendidikan Islam. Shalahudin penguasa Mesir ketika itu, telah membangun Sekolah Nashiriyyah di Al-Qarafah dan telah memberikan wakaf untuk sekolah tersebut berupa tempat mandi yang terletak di sampingnya, dan beberapa buah toko yang terletak di belakangnya, serta sebuah pulau yang disebut Pulau Gajah di sungai Nil di luar kota Kairo53. Dibangun pula sebuah hotel yang dikenal dengan nama Hotel Al-Nakhlah lalu diwakafkan pula untuk madrasah-madrasah, diantara madrasah yang menerima wakaf itu adalah madrasah Al-Dimaghiyyah di Damaskus54.

Pemberi wakaf (waqif) tersebut menentukan beberapa syarat untuk pada fuqaha, thullab, asatiz dan pelayanan lain, bahwa mereka haruslah terdiri dari orang-orang saleh, teguh beragama, suci hati, berakhlak baik dan mutaman. Disamping itu, sesuai dengan keinginannya, ia menentukan pula supaya mereka yang telah tergabung dalam ikatan pendidikan itu dapat memperoleh taraf penghasilan yang layak55.

Upaya-upaya semacam ini merupakan realisasi perintah Rasulullah S.A.W kepada umatnya guna menuntut ilmu. Ghirah untuk menuntut ilmu memang benar-benar mendapatkan perhatian dari seluruh lapisan masyarakat, antara lain disebabkan karena para ulama dan para ilmuwan Islam ketika itu mendapat perhatian khusus dari penguasa56. Seperti ilustrasi Ali Al-Jumbulati tentang ghirah menuntut ilmu, ia menunjukkan bahwa orang-orang Arab sejak pagi-pagi menyusun gramatika bahasa Arab untuk menghindarkan kerusakan pemahaman Al-Quran, kemudian disusun pula al-balaghah yang bertujuan untuk dijadikan alat memperkuat daya mukjizat Al-Quran. Selain itu ada kesungguhan dari mereka mengadakan studi ilmu-ilmu kealaman, karena diketahui bahwa Al-Quran telah memberi petunjuk tentang ilmu pengetahuan, dan memberikan motivasi untuk mencari ilmu serta studi tentang fenomena-fenomena alam57. Hal ini menujukkan bahwa ada korelasi antara ilmu kealaman dengan agama Islam, dan ada hubungan timbal balik antara ilmuwan dengan para penguasa.

Prinsip demikian ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sesuai dengan kemanusiaan yang hebat, yang dapat mewujudkan ketentraman batin, dan mengintegrasikan antara pertumbuhan akal dan rohaniyah. Keduanya berjalan searah dalam waktu bersamaan, serta memberikan arah kesadaran hati nurani yang memberikan rasio lebih mantap58.

Pendidikan Islam dikatakan sesuai dengan kemanusiaan hebat, karena pendidikan Islam memandang manusia secara kaafah, artinya manusia dipandang sebagai makhluk Allah yang diciptakan fi ahsani taqwim, ialah manusia yang memasyarakat, adil, benar, harmonis, secara naluriyah mengakui Tuhan sebagai Pencipta, mengabdi kepadaNya, cenderung ingin memaksimalkan potensi pribadinya, bertanggung jawab kepada sesama manusia dalam masyarakat dan umat, ingin menemukan rahasia dalam memelihara dan mengembangkannya untuk kepentingan dirinya, orang tuanya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, bahkan umat manusia. Atas dasar nilai dan karakteristik inilah ia mengembangkan budaya dan peradaban manusia sesuai dengan kapasitasnya59.

Demokratisasi pendidikan Islam memang tidak menuju pada semua peserta didik mencapai hasil yang sama, melainkan secara transparan memberi kesempatan padanya untuk memperoleh kesempatan mengembangkan potensinya guna memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan hidupnya.

Namun perlu diketahui bahwa orang yang berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi tinggi tetapi tidak memiliki ikatan agama pada hati nurani dengan Tuhannya, maka ia akan kehilangan sifat aslinya. Pada saat-saat menghadapi permasalahan yang harus diputuskan ia mengalami kebingungan dan kerisauan.

Penutup

Sebelum saya mengakhiri pidato ini perkenankanlah saya menyampaikan beberapa pokok kesimpulan sebagai berikut :

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, terasa telah memberi perubahan pada prinsip-prinsip long life education. Teknologi komunikasi, arus migrasi dan penyiaran referensi budaya ke seluruh dunia menimbulkan adanya pergumulan budaya, yang berimplikasi pada terjadinya transformasi budaya, baik budaya materiel maupun budaya spiritual. Munculnya budaya materialis, menimbulkan kehidupan orang dalam masyarakat lebih banyak menghargai segi kehidupan materi dari pada segi spiritual.

Terbentuknya budaya massa, lebih disebabkan karena keterlibatan seluruh umat manusia berhubungan secara transparan ke seluruh bangsa, sehingga tidak ada lagi sekat-sekat budaya. Dalam proses terjadinya budaya massa ini, berlangsung adanya pelepasan nilai tertentu, mempertahankan nilai tertentu, pengadopsian nilai tertentu, dan budaya yang paling kuat akan menguasai masyarakat dunia. Budaya yang paling kuat dewasa ini adalah budaya teknologi. Budaya teknologi ini, menimbulkan fenomena-fenomena baru, antara lain : meningkatnya budaya konsumerisme, pendangkalan nilai-nilai agama, nilai-nilai lama yang telah mapan diganti dengan nilai-nilai baru yang materialistik, sekularistik, timbulnya budaya permisif yang serba boleh, suburnya sikap-sikap individualistik dan munculnya foundamentalisme yang anonim.

Pendidikan Islam laik responsif terhadap munculnya fenomena-fenomena tersebut, dengan kembali meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan atau sains, memperkokoh tradisional Islam, memberikan porsi pendidikan al-afidah (hati nurani) lebih dominan dengan mempertajam pelatihannya pada pusat-pusat pendidikan Islam. Karena al-afidah ini menjadi pusat iradah seseorang untuk menjadi orang saleh atau tidak. Dengan al-afidah ini dapat dilihat seseorang dekat dengan Tuhannya atau jauh denganNya. Melalui al-afidah orang mempunyai kecenderungan pada kebenaran, dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk dan dapat menjadi jalan memperoleh ilmu dan kekayaan intelektual, serta punya kekuatan menolak budaya yang tidak bernuansa keilahian.

Guna memperkuat dukungan dana terhadap pusat-pusat pendidikan Islam, perlu ditingkatkan potensi waqaf khairi dari kalangan aghniya muslim, dan dikelolanya secara profesional dengan ridha Allah, upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang muslim zaman pertengahan, mereka telah berhasil mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. Bilamana dapat dilakukan dengan seksama bisa menjadi counter kebudayaan terhadap budaya teknologi yang sekularistik.

Demikianlah uraian saya mengenai kebijakan pendidikan Islam dalam menyikapi pergumulan budaya kontemporer, yang merupakan wujud kepedulian saya terhadap fungsi-fungsi pendidikan Islam.

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional yang telah menetapkan saya sebagai Guru Besar di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Bapak Menteri Agama dan Dirjen Kelembagaan Agama Islam yang telah memperlancar proses pengangkatan guru besar saya.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya haturkan pada Bapak H. Mardiyanto Gubernur Jawa Tengah dan Bapak Drs. H. Ali Mufis, M.pA.Wakil Gubernur Jawa Tengah yang dengan tulus hati membantu saya dalam penyelenggaraan acara pengukuhan guru besar ini.

Terima kasih saya sampaikan pada Bp. Rektor IAIN Walisongo dan seluruh anggota Senat IAIN Walisongo yang telah banyak memberikan fasilitas pada saya.

Ucapan terima kasih saya haturkan pula pada semua guru saya di Sekolah Rakyat Negeri Sendangkulon, asatiz saya ketika saya belajar di Pondok Modern Gontor, dosen-dosen saya ketika saya kuliah di Fakultas Tarbiyah dan Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Atas jasa beliau semua saya bisa jadi begini.

Saya haturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tua saya Bapak H. Masyhuri (alm) dan eMak Hj. Siti Mubaidah (alm) yang telah mendidik dan mengukir pribadi saya. Tak lupa saya haturkan terima kasih pada istri saya Hj. Sri Murni yang telah mendukung sepenuhnya fi thalabi al-ilmi dan selalu mendampingi dalam suka dan duka. Begitu pula pada anak-anak saya dr. Zinatul Faizah, Sp A beserta suaminya dr. Eka Yudhanto, M.Si, Med, Sp B, M. Arif Tanthawi, SE, beserta isterinya Hj. Deby Lestari, Amd, Arifatul Husna, SE beserta suaminya Henry Agus Setiawan, Amd, Muhamad Syauqi, Amd, beserta isterinya Pia Pinanda, SE, saya sampaikan terima kasih atas semua dukungannya. Terima kasih kepada semua cucu saya, yang tingkah lakunya selalu menyenangkan saya.

Sebagai akhir kata, saya sampaikan terima kasih atas perhatian dan kehadiran bapak ibu dalam acara pengukuhan guru besar ini, dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan saya. Jazakumullah khaira al-jaza.

Wassalamualaikum Wr. Wb.


 

 Contoh Naskah Pidato Singkat dalam Berbagai Tema

 

 

Banyak sekali Contoh pidato yang tersedia disini dari Contoh pidato bahasa jawa, Contoh Pidato Bahasa Sunda, contoh pidato bahasa inggris singkat, contoh pidato bahasa inggris tentang pendidikan
,contoh pidato bahasa inggris tentang covid-19, pidato bahasa inggris tentang akhlak, contoh pidato bahasa inggris singkat tentang islam, materipedia.my.id, pidato bahasa inggris singkat tentang pendidikan, contoh pidato bahasa inggris tentang lingkungan, contoh pidato bahasa inggris tentang menjadi diri sendiri, contoh pidato bahasa jawa tentang pendidikan, contoh pidato bahasa jawa tentang covid-19, contoh pidato bahasa jawa tentang perpisahan, contoh pidato bahasa jawa tentang menuntut ilmu, contoh pidato bahasa jawa tentang kesehatan, pidato bahasa jawa tengah, pidato bahasa jawa krama, pidato bahasa jawa singkat tentang kebersihan .

 

Orang lain juga menelusuri

  • impromptu adalah
  • jelaskan tujuan orang melakukan pidato
  • bagaimana konsep urutan dari isi pidato
  • bagaimana melakukan pidato dengan baik
  • sebutkan langkah-langkah menulis pidato
  • sebutkan metode pidato 
  • contoh pidato lisan
  • contoh pidato tentang lingkungan
  • contoh pidato tentang covid-19
  • contoh pidato perpisahan
  • contoh pidato islami
  • contoh pidato pendidikan
  • contoh pidato yang menarik dan tidak membosankan
  • contoh pidato persuasif

 

 

Posting Komentar untuk "Contoh Pidato Tentang Pendidikan Islam Di Tengah Pergumulan Budaya Kontemporer"